Dalam negara demokrasi negara harus memberikan jaminan kebebasan pers atau media massa sebagai salah satu kriteria dari sebuah negara demokrasi. Namun dalam perkembangannya pers atau media massa saat ini justru seringkali memberitakan informasi yang tidak sepenuhnya fakta yang ada di lapangan. Ditambah dengan perkembangan teknologi yang terlalu cepat serta kemampuan adaptasi warga masyarakat yang lambat menjadikan ketidakseimbangan pemahaman dalam penggunaan gawai sebagai salah satu fasilitas memperoleh informasi dari hasil pers. Belum lagi hadirnya berbagai platform sosial media berupa twitter, facebook, tiktok, instagram, dan masih banyak lagi yang semakin menjadikan penyebaran informasi semakin cepat namun seringkali tanpa validasi yang menjadikan informasi-informasi yang muncul justru disinformasi alias informasi yang menyesatkan
Hal ini yang ingin coba saya kulik dalam tulisan saya kali ini. Tulisan ini nantinya akan mencoba melihat fenomena di atas dengan merujuk salah satu buku hasil pemikiran dari Noam Chomsky. Judul dari buku tersebut adalah 'Politik Kuasa Media'. Buku yang bisa dikategorikan sebagai buku 'sekali duduk' ini hanya memliki 51 halaman namun syarat akan pemikiran yang brilian dan saya jamin mampu membuat kita untuk lebih berpikir kritis terkait informasi-informasi yang bersliweran saat ini.
Avram Noam Chomsky yang lahir pada tahun 1928 mengawali bukunya dengan mengangkat tema mengenai propaganda. Propaganda pada pemerintahan modern pertama kali terjadi tatkala Wodrow Wilson pada tahun 1916 memenangkan pemilihan umum Amerika Serikat dengan platform 'Perdamaian Tanpa Penaklukkan'. Dengan membentuk komisi propaganda resmi pemerintah Creel Committee Wodrow Wilson bermaksud untuk merubah arah pemikiran masyarakat Amerika saat itu yang anti-perang menjadi massa yang histeris dan haus perang. Hal tersebut mampu dicapai melalui tulisan-tulisan dari anggota masyarakat yang lebih intelek untuk membangkitkan ketakutan dan fanatisme kebangsaan yang berlebih-lebihan. Noam Chomsky juga menambahkan, "Propaganda pemerintah, jika didukung oleh kelas berpendidikan dan tak terjadi penyimpangan, maka pengaruhnya akan sangat besar."
Noam Chomsky lantas mengutip pernyataan Walter Lippman seorang teoritis liberal yang mengatakan bahwa terdapat dua 'fungsi' dalam demokrasi: Pertama kelas para ahli, penguasa, dan pemegang peran eksekutif. Kedua, kawanan pandir yang berfungsi sebagai "pemirsa" bukan "pemain" layaknya yang dijalankan oleh kelas pertama. Kemudian kawanan pandir ini lantas diikat oleh semacam nilai moral yang memaksa. Nilai moral itu adalah bahwa publik harus terlalu bodoh untuk memahami sesuatu. Tidak diberikan kebebasan untuk mengatur urusannya sendiri. Diumpamakan seperti anak kecil yang hendak menyeberang jalan sehingga mesti dicegah karena anak kecil tersebut tidak mampu untuk melakukannya. Dengan analogi tersebut sehingga kawanan pandir tersebut tidak boleh untuk menjadi partisipan atau aktor. Dari sinilah muncul revolusi baru dalam seni berdemokrasi: "Rekayasa Persetujuan."
Rekayasa Persetujuan dilakukan kelas pertama terhadap kelas kedua. Dengan dalih, "Saya dapat melayani kepentingan anda", maka jadilah mereka bagian dari kelompok eksekutif. Sedangkan kawanan pandir cukup dialihkan saja perhatiannya. Pastikan mereka hanya menonton dan sesekali meminjamkan kekuatan yang mereka punya kepada pemimpin yang mereka pilih. Itulah yang disebut pemilu. Si pandir meminjamkan "kekuatannya" kepada para intelek untuk akhirnya si pandir harus mundur untuk menjadi "penonton" kembali.
Dalam melakukan rekayasa persetujuan kelompok kelas pertama tidak melakukan sendirian melainkan bekerja sama dengan para pebisnis. Sehingga dalam sejarahnya lahirlah yang dinamakan Industri Humas. Industri Humas pertama kali di pelopori oleh Amerika dengan tujuan yang tidak tanggung-tanggung yaitu mengontrol pemikiran publik. Pada awalnya industri humas adalah bentuk respon dari kelompok kelas pertama dan pebisnis terhadap kemenangan buruh dalam tingkat legislatif yang menghasilkan peraturan kebebasan berorganisasi, Wagner Act. Salah satu contoh adalah ketika terjadi pemogokan besar-besaran yang dilakukan buruh di Pennsylvania. Para pebisnis tidak melawan aksi tersebut dengan kekerasan melainkan mencoba mencari cara yang lebih cerdik dan efektif. Cara itu adalah dengan membuat publik memiliki pemikiran bahwa para pemogok itu adalah biang kerusuhan, perpecahan, dan berlawanan dengan kepentingan bersama. Karena ini adalah pekerjaan kalangan bisnis, tentu saja mereka memiliki kontrol kuat terhadap media dan memiliki sumber daya yang melimpah.
Dalam kondisi yang berbeda, jika terdapat satu isu baru yang heboh dikalangan rakyat, rakyat harus tidak boleh memikirkan isu tersebut. Itulah kunci dari propaganda. Kemudian dibuatlah slogan-slogan atau informasi yang membuat rakyat tidak berani untuk berseberangan dengan informasi tersebut dan semua orang mau mendukungnya. Meskipun seringkali kita tidak mengetahui makna dibalik informasi atau slogan-slogan yang bertebaran. Pada akhirnya rakyat menjadi ragu untuk menyuarakan opininya dan hanya mengikuti arus karena takut dianggap publik 'orang gila'.
Sebagai penutup dalam tulisan kali ini saya hendak mengutip pernyataan dari Noam Chomsky, "Dalam kondisi itu, serikat benar-benar telah mati. Bentuk-bentuk lain dari struktur rakyat juga telah lama hilang. Media termakan monopoli. Dua partai adalah dua fraksi yang sama-sama dari kalangan bisnis juga. Sebagian besar rakyat tidak lagi peduli untuk memilih karena tidak ada gunanya. Mereka dipinggirkan dan dialihkan perhatiannya." Sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka yang mampu melakukan rekayasa persetujuan adalah mereka yang memiliki sumber daya dan kekuatan untuk melakukannya. (MIM)
Komentar
Posting Komentar