Langsung ke konten utama

Akankah?

Sore hari itu, empat puluh tahun yang lalu menjadi awal dari kehidupan berat yang akan dilaluinya. Ia tak terlalu ingat persis bagaimana semuanya terjadi. Karena semua terjadi dengan begitu cepat sehingga ingatan masa kecilnya sulit merekam semuanya. Kejadian itu terjadi pada tahun 2001. Ia masih seorang bocah berusia empat tahun. Umur yang masih begitu belia harus ternodai dengan goresan luka yang dulu tak terasa perih tetapi seiring beranjak dewasa semakin ‘membunuh’-nya. Menggerogoti sejengkal demi sejengkal tiap bagian jiwa dan raganya dengan rasa duka dalam sedalam palung Mariana.

Azan ashar baru saja selesai berkumandang saat seorang perempuan yang kala itu berusia tiga puluh tujuh tahun berlari mondar-mandir dengan air muka sedih, panik, takut, dan bingung. Dengan kalut si wanita memberi perintah kepada anak lelakinya yang paling tua, “Leee (panggilan orang jawa untuk anak laki-laki dari kata “thole”), titip adik-adikmu dulu ya. Bawa mereka ke tempat Mbah Minto. Ibu tak ngurusin bapakmu dulu.” Dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Si anak sulung hanya menjawab, “njih, bu”, sambil terus berlalu menggendong dan menggandeng adik-adiknya yang masih berusia delapan bulan, empat tahun, dan enam tahun ke tempat Mbah Minto, pemilik rumah kontrakan yang keluarga itu sewa.

Ia yang masih berumur empat tahun hanya bisa menurut saja. Tidak tahu apa yang terjadi. Hanya diam. Dalam diamnya yang semakin dalam berteman kebingungan kebocahan. Singkat cerita waktu beranjak menunjukkan pukul lima sore saat sayup-sayup suara tahlil dan surah yasiin mulai bergema di seantero rumah Mbah Minto. Lamat-lamat Ia melihat dengan mata kepalanya seseorang yang dibaringkan di sebuah meja. Membujur kaku dengan kepala di utara dan kaki di selatan. Ditutupi dengan kain batik yang sering digunakan untuk menggendongnya saat Ia masih bayi. Berkolaborasi padu dengan kain putih berbahan mori yang menutupi sekujur tubuh lelaki yang saat itu masih berusia tiga puluh lima tahun. Ia di samping ibunya. Menggelendot, memegangi rukoh (mukena) bagian bawah sambil terus menempelkan tubuh di pahanya. Ia mendongak ke atas melihat ibunya yang melakukan gerakan sholat namun tak pernah rukuk ataupun sujud. Kemudian hari Ia baru paham, itu adalah gerakan sholat yang berbeda dari sholat yang diajarkan bapaknya sewaktu Ia masih kecil. Sholat itu adalah sholat jenazah atau sholat mayit. Dan kini Ia juga baru mengerti, tangisan dan ratapan doa Ibunya kala itu tertuju kepada Bapaknya yang terbujur kaku. Bapaknya kalah oleh penyakit tuberculosis (TBC) yang menghajar habis paru-parunya. Meninggalkan ibunya, dirinya, dan tiga saudaranya yang lain.

Bencana kedua masa kecilnya lahir ke dunia dengan riang gembira sesaat setelah bapaknya selesai dibaringkan di liang kubur. Keluarga besar dari sisi Ibu berkumpul untuk berembug dengan ibunya. Kesimpulan pertemuan itu adalah kado perpisahan empat saudara sekandung. Anak sulung Ibu dan Bapaknya berpisah sejauh lima ratus lima puluh kilometer ke barat menuju bumi parahyangan Bandung. ‘Berpindah’ keluarga bergabung dengan keluarga bibinya di sana. Anak kedua tidak terlampau jauh. Masih dalam satu kota dan provinsi yang sama menyeberang ke keluarga kakak perempuan si Ibu. Hanya tersisa Ia dan adiknya yang masih mungil berusia delapan bulan yang menjadi asuhan Ibunya. Mereka bertiga diminta pulang. Pulang ke rumah orang tua si Ibu untuk berteduh dari terik sinar matahari yang kini akan terasa semakin panas menyengati kulit-kulit rapuh ‘awak kapal’ yang kehilangan seorang ‘nahkoda’ yang begitu mereka cintai.

Semenjak itulah empat bersaudara itu adalah saudara sekandung tetapi seperti orang asing. Berawal dari jarak yang membentang diantara mereka dan berakhir dengan jalinan batin yang ikut terurai. Lantas, Ibunya menjadi single parent. Merangkap pekerjaan sebagai Ibu dan Bapak dalam satu badan. Membanting tulang mencari nafkah, menyusui, menggendong, memberikan kasih sayang. Menjadi tegas namun dituntut tetap harus lembut mengajarkan kelembutan. Dengan luka itulah Ia dibesarkan. Menjadi sosok yang pemalu, pendiam, dan penyendiri. Selalu saja air matanya menetes tatkala Ia mengenang semua kejadian itu. Apakah hidup setakadil ini? Tergores luka meski masih belia. Memukul K.O. sebuah benih kecil yang belum sempat tumbuh subur memamerkan keelokannya.

Efek domino lain semenjak mangkatnya sang ‘nahkoda’ adalah karamnya ekonomi keluarga. Ibunya pulang ke rumah orang tuanya dan tidak dibolehkannya bekerja. Kata orang tua ibunya, “mbak ndak usah kerja ya, bapak ibu masih ada pensiunan, dicukup-cukupkan buat bareng-bareng”. Ternyata itu hanya solusi sementara, isn’t long term solution. Selepas orang tua Ibunya meninggal otomatis tidak ada lagi dana pensiuanan yang dapat digunakan yang menjadikan Ibunya memutar otak dan mengencangkan otot untuk bekerja. Akhirnya Ia dan adiknya sedikit ‘terbengkalai’. Tak lagi dapat perhatian penuh dari Ibunya. Mau makan, berangkat sekolah, bermain di luar rumah sampai sore sudah tidak lagi diindahkan Ibu dengan saksama. Pokoknya sekenanya saja. Namun sama saja, ekonomi hanya cukup untuk mengganjal perut. Selebihnya? Tidak ada, malah sering kurangnya.

Ada satu cerita hidupnya yang akan selalu Ia ingat. Saat Ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Kejadian itu terjadi ketika Ia sedang mengikuti kegiatan pramuka antar sekolah. Ia di barisan paling belakang. Disebelah barisanya terdapat barisan dari sekolah lain. Ia lupa barisan itu berasal dari sekolah mana. Ia hanya ingat seorang anak di barisan sampingnya yang tanpa berpikir panjang berkata, “itu sepatu apaan? Jelek banget, talinya udah rusak-rusak!”, diakhiri dengan tawa mengejek. Padahal Ia hanya hendak mengajaknya berkenalan, bukan mengajaknya berkelahi. Tapi balasannya adalah sebuah ejekan. Inilah yang menjadikannya selalu mempertanyakan tentang kehidupan. Bagaimana sebenarnya hidup? Apa seperti ini yang dinamakan kehidupan? Kenapa kehidupan brengsek terhadap dirinya? Melukai hati, mencakar, menggores, menusuk, mengoyak sampai tak sempat Ia untuk menyelamatkan diri. Buruknya, Ia melalui segala luka itu sendirian. Memendam, menyimpan, menyembunyikan dalam diam. Tak ada yang memberikan perhatian padanya, Ibunya sibuk bekerja. Sedangkan saudaranya terlampau jarak dan kedekatan. Teman? Mereka hanya mengasihaninya, bukan mendukungnya. Padahal yang sebenarnya Ia butuhkan adalah dukungan bukan hanya belas kasihan.

Tahun demi tahun berlalu dengan luka lama yang masih membekas. Ia sudah beranjak usia dua puluh tiga tahun saat Ia dinyatakan lulus dari salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Awal baru pun dimulai. Sesuatu yang Ia kira akan menjadi lebih mudah selepas lulus pendidikan ternyata salah. Hantaman demi hantaman kerasnya kehidupan memukul dirinya bergantian tanpa ampun. Menertawainya atas kedunguannya karena Ia tak mampu untuk mengenali dirinya dan hanya, hanya dan hanya terjebak oleh luka masa lalunya tanpa mau berdamai sejengkal pun.

Seringkali Ia hanyut oleh arus pikirannya. Tentang kehidupan yang serba tidak adil ini. Tentang dirinya yang sampai saat itu belum tahu apa tujuannya lahir di dunia ini. Tentang mengapa Ia harus berjuang untuk bertahan hidup. Untuk siapa Ia hidup? Atau untuk apa Ia hidup? Tentang apa yang benar-benar membuatnya bahagia pun Ia tak mampu untuk menjawab. Ia hampir saja putus asa. Mengangkat tangan dan menghadapkan wajah ke langit. Berteriak dengan lantang, “Tuhan, kenapa kau tak cabut saja nyawaku ini setelah apa yang selalu Kau timpakan kepadaku?”, masih dengan suara lantang, “Belum puaskah Kau membebani aku padahal pundak ku tak sanggup untuk menopangnya?”. Memang sangat bajingan kehidupan ini. Tak sekalipun memberikan kesempatan untuk bertahan padahal batin telah hancur berkeping menerjang gelombang pasang cobaan.

Ia semakin jauh dari mengenali dirinya. Ia berlari menjauhi dirinya sendiri dan mencari pelampiasan. Merokok salah satunya. Padahal jelas, keluarganya tidak ada riwayat perokok. Hanya dirinya saja yang merokok dengan diam-diam. Karena sudah terlanjur bingung harus berbuat apa, mengadu kemana, dan bersandar kepada siapa. Seolah Ia hidup sendiri diantara belantara hutan kehidupan yang berisi binatang buas yang siap menerkam, mengoyak, membabi buta jiwa dan raga sampai habis tak bersisa. Ia menjauhi Tuhan dan Tuhan pun menjauhinya. Lengkap sudah penderitaannya dalam kesendiriannya tanpa mengenali lagi siapa dirinya dan apa tujuannya. Bahkan pepatah arab “man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu” tak lagi mempan untuk memberikan secercah cahaya dalam gelapnya mata lahir dan batinnya yang telah tertutupi borok besar luka masa lalu.

Sampai suatu ketika Ia bertemu dengan seseorang. Seseorang yang mampu untuk menggandengnya melewati semua luka selama ini. Memeluknya, memberikan sandaran untuknya, menjadi rumah baginya untuk pulang. Menyadarkannya betapa berartinya dirinya. Membangunkannya dari tidur panjangnya untuk kembali bersinar dan meraih cita dan harapannya. Mengajaknya melupakan semua masa lalu.

Ia bertemu dengannya tanpa sengaja. Lewat laman media sosial mereka saling menyapa. Ia yang memulainya dan dia yang meneruskannya. Akhirnya mereka berjalan bersama. Dia yang menjadikannya kuat. Merubahnya menjadi sosok singa dari semula hanya seekor kucing kampung. Merubah mental kacung menjadi mental raja. Dan disinilah dirinya saat ini dengan segala prestasi yang telah Ia torehkan. Kemampuan berbahasanya sekarang sudah lima. Bahasa Jawa, Indonesia, Urdu, Inggris, dan Jerman. Ia berhasil lulus S2 di ITB dalam bidang Fisika Nuklir dan melanjutkan S3 di Waseda University Jepang dalam bidang Rekayasa Tenaga Nuklir. Menjadi salah satu peneliti yang disegani, dihormati, dan dipercaya oleh banyak kolega. Ia tak pernah menyangka akan menjadi seperti saat ini. Dengan segudang masalah yang menimpanya, dari trauma masa kecil sampai hampir kehilangan jati diri.

Ia masih hanyut dalam kenangannya saat seseorang dengan pakaian batik rapi dan berbadan tegap menghampirinya sembari berbisik, “permisi Bapak, mohon untuk berdiri, karena Bapak Presiden akan memasuki ruangan”, pintanya dengan suara pelan yang tegas.

        Seketika itu juga aku tersadar dan lantas membalas, “baik mas, terimakasih sudah diingatkan”, dan kemudian aku pun berdiri. Tak berselang lama Bapak Presiden Republik Indonesia pun memasuki ruangan rapat dengan senyum lebar menjabat tanganku, “bagaimana kabarnya Mas Imam? Sudah siap untuk presentasi?”. Aku membalas jabat tangannya yang mantap dengan sedikit membungkuk untuk memberikan penghormatan, “kabar baik Pak Presiden, untuk presentasi insyaallah saya sudah siap”. “Baik kalau begitu, silahkan duduk Mas”, Presiden melepaskan jabatan tangannya sambil mengarahkan tangannya menunjuk kursi yang sedari tadi aku duduki untuk duduk kembali, persis disamping beliau orang nomer satu di Republik ini. 

        Dengan kewibawaannya beliau memulai rapat itu dengan sedikit penjelasan, “hari ini kita akan mendengarkan pemaparan langsung dari ketua BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) tentang PLTN pertama yang akan dibangun di Indonesia”, masih dengan wibawa yang sama, “silahkan kepada bapak-bapak dari kementrian terkait untuk dapat dijadikan perhatian”. Orang nomer satu di Indonesia itu memandang ke arahku sambil berkata, “silahkan Mas Imam untuk dimulai presentasinya, waktu anda saya batasi lima belas menit”. Selesai~

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu

Di tengah gempuran suara jangkrik yang beralun. Dengan segelas extra joss susu yang sudah tandas. Berteman dingin yang menyelimuti. Perasaan itu muncul, menyapa kembali, menunjukkan diri lagi. Sulit untuk bisa menghindar dari tikamannya yang perih. Aku mengenalnya tanpa sengaja. Berawal dari sebuah candaan di awal perjumpaan kami. Saat itu kami belum pernah mengenal satu sama lain. Belum pernah berjumpa fisik barang sekali. Belum pula pernah bertukar sapa dan cerita melalui gawai. Menjadi aneh rasanya ketika justru saat ini dia lah penyebab perasaan ini muncul dan menghantui. Semuanya serba cepat dan seperti tanpa rencana. Aku mengirimkan surat kaleng kepadanya dengan sebatang coklat yang tak seberapa harganya. Sejak saat itu hubungan kami menjadi istimewa. Setidaknya itu yang aku rasakan. Bagaimana dengan dia? Semoga dia juga mempunyai rasa yang sama, utuh dan bulat seperti yang aku rasakan. Namanya Indah, tentu saja seindah orangnya. Dia lebih muda dariku 4 tahun. Entah sihir apa yan...

Terlalu Jauh

Sulit sekali rasanya mendeskripsikan apa yang sedang aku rasakan. Kecenderungan untuk terus merasa sensitif, mudah marah, murung berhari-hari, sulit berkomunikasi, senang menyendiri, dan kesulitan untuk tidur. Perasaan yang semakin hari semakin menguasai diri. Sulit menghindar apalagi meninggalkan. Di mana letak kesalahan diri ini? Mencoba menelusuri setiap persimpangan. Mencoba segala hal dari kebaikan hingga keburukan. Nyatanya sulit sekali untuk menemukan jawaban. Seolah diri ini dibuat bingung dengan keadaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah dalam diri ini? Sudah cukup lelah diri ini untuk terus mencari. Keputusasaan seolah telah menanti, melambai, dan mulai menghampiri. Pagi ini, tanpa sengaja terlintas dalam pikiranku untuk menonton podcast Ust. Felix Siauw dengan Remond Chin. Podcast yang membahas mulai dari pentingnya nalar berpikir dalam beragama, jodoh, hingga membahas persoalan pemimpin. Menelusuri detik demi detik dan cukup banyak hal baru yang diri ini peroleh. ...

I Felt Better When I Have Done Write Down My Feelings

I felt better when I have done write down my feelings. Ungkapan itu tidak berlebihan rasanya. Ungkapan yang entah muncul dari mana. Ungkapan yang betul-betul menggambarkan perasaanku saat ini. Hidupku terlalu lelah untuk aku ceritakan melalui kata-kata. Hanya melalui frasa aku dapat bercerita karena rasanya tidak ada yang benar-benar memahami apa yang aku rasa. Tidak ada pula yang dapat aku percaya. Bercerita bukan perkara mudah bagiku yang sejak kecil terbiasa memendam segalanya. Bersyukurnya aku Tuhan telah menciptakan tulisan. Memberikan aku kemampuan membaca dan mengeja serta menulis untuk menumpahkan segala rasa. Oh, sungguh hanya ini yang bisa aku lakukan. Namun kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Mungkin ini memang waktu yang tepat untukku yang diberikan Tuhan kepadaku untuk menyadari semuanya. Tentang segala rasa yang tersimpan harus aku tuangkan dalam tulisan. Aku belum memahami korelasi antara pengalaman masa laluku dengan kondisiku saat ini. Dulu aku begitu menggebu...