Hujan turun dengan derasnya di malam itu. Suara tetesan air hujan yang jatuh ke tanah mampu menjadi senandung rindu dengan tiupan hawa dinginnya yang membuat bulu kuduk menari-nari. Ia sedang menikmati segelas americano panas yang baru saja mendarat dihadapannya ketika dalam tegukan pertama Ia langsung merasakan kantung kemihnya penuh dengan cairan yang menuntut untuk dikeluarkan.
Tanpa berpikir panjang Ia bangkit dari tempat duduknya. Memundurkan sedikit kursinya, memberikan ruang pada pantatnya untuk hengkang dari alas kursi yang sudah mulai hangat itu. Ia berjalan dengan pasti sembari membayangkan kelegaan yang akan Ia rasakan setelah membuang semua cairan yang kini sudah mulai mengganggu kenyamanannya.
Sesampainya di depan toilet Ia tertegun dengan sebuah tulisan besar dengan huruf kapital yang berbunyi “MOHON MAAF TOILET SEDANG RUSAK”. “Mati aku”, pikirnya dalam hati. Ia sempat menghabiskan beberapa waktu celingak-celinguk mencari pelayan cafe yang sekiranya dapat Ia tanyai.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, seorang pelayan cafe melintas dihadapannya. Dengan gerakan cepat dan suara yang dikeraskan Ia berkata, “permisi mas, toiletnya beneran rusak ya?”.
Pelayan menjawab, “laiya to mas, kan udah ada tulisannya”, sambil berlalu meninggalkannya.
Ia hanya bisa melongo. “Kok ya bisa-bisanya ada pelayan model macam dia”, ucapnya jengkel, “untung aku baru kebelet, coba kalo enggak, udah habis aku kelitikin dia”.
“Oke, aku cari toilet lain aja kalo begitu”, bisiknya pada diri sendiri sambil berlalu dari hadapan pintu toilet.
Ia kemudian bertanya kepada pelayan lain, bukan pelayan tadi yang judesnya bukan main. Kini Ia mencoba peruntungan dengan bertanya kepada pelayan cewe yang sedang meratapi sepinya pesanan cafe karena hujan tak kunjung reda.
“Permisi mbak, ada toilet lain selain toilet itu gak?”, sambil menunjuk toilet rusak tadi. Pelayan itu terbangun dari lamunannya, “ha? Apa mas? Masnya tadi tanya apa? Bisa minta tolong diulangi?”.
Dengan menarik nafas panjang Ia mengulangi pertanyaannya, “apa ada toilet lain selain toilet itu, mbak?”, sambil berharap semoga Ia tidak diminta untuk mengulanginya lagi. Seandainya saja Ia diminta untuk mengulanginya lagi, niscaya Ia akan mengulainya bukan hanya satu atau dua kali melainkan seratus kali biar sekalian jadi dzikir malamnya.
“Oh, ada mas, tapi dibawah”, lanjut si pelayan, “mas-nya nanti turun aja dari tangga di depan pintu masuk”, jari telunjuknya menunjuk pintu dengan delapan kaca di setiap daun pintunya yang tepat lurus dihadapannya, “setelah turun, terus lurus aja mas, nanti udah ada sign-nya mas”.
“Oke, terimakasih ya, mbak”, diiringi senyum anehnya karena sudah semakin kebelet.
Kini perasaannya makin tidak karuan. Menahan kencing memang selalu menyulitkan. Apalagi sudah di ujung tanduk seperti yang sedang Ia rasakan. Ia ingin segera merasakan kelegaan dari siksa yang semakin lama semakin terasa menyiksa. “Gak lucu kalo aku harus ngompol di celana”, keluhnya pada diri sendiri.
Suasana cafe bagian atas terbilang sepi. Hanya dirinya dan dua konsumen yang ada diatas. Sisanya memilih untuk menikmati suasana cafe yang bertema retro itu di lantai bawah, tempat toilet kedua yang coba Ia taklukkan. Itupun juga tidak terlalu banyak konsumen yang ada disitu.
Setelah Ia menuruni tangga, mengikuti setiap instruksi yang diberikan pelayan kepadanya untuk menemukan harta karun: toilet, akhirnya Ia dapat menemukan tanda keberadaan harta karun itu. Tanda dengan tulisan toilet dengan gambar ikon seorang lelaki dan perempuan yang dipisahkan oleh satu garis tegak lurus.
Ia lantas berjalan dengan kecepatan yang dipercepat. Berbelok ke kanan memasuki area toilet. Toilet pria dan wanita dibatasi oleh satu tembok tipis yang membentuk lorong memanjang sebelum memasuki toilet dan di setiap toilet hanya terdapat satu kamar mandi. Kamar mandi yang cukup sederhana untuk sebuah cafe yang lumayan terkenal di kawasan itu.
Bulan sabit di mulutnya yang semula mendongak ke langit mendadak layu dan kemudian berbalik menunduk ke bumi saat mengetahui antrean yang terjadi di depannya. Selayaknya orang-orang yang sedang menganter Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah, mereka mengantre dengan khidmat. Namun tidak dengan dirinya, Ia tidak bisa mengantre dengan khidmat apalagi khusyuk. Nasibnya dipertaruhkan tidak lebih dari tiga sentimeter lagi.
“Ah, sial”, teriaknya spontan yang membuat tiga antrean mas-mas di depannya menoleh kepadanya. Ia yang menjadi canggung kemudian berbalik dan dengan setengah berlari sambil terus memegangi pusakanya menghilang di balik tembok pemisah antara toilet pria dan wanita.
“Apa aku ke toilet cewe aja ya?”, pikirnya sesat hampir putus asa, “haduh jangan deh, nanti kalo ketahuan malah dikira aku mesum lagi”, malaikat dalam pikirannya menang dan Ia memilih untuk mencoba toilet yang terdapat di tempat parkir karena Ia tahu terdapat sebuah toilet di tempat parkir saat Ia memasuki area café itu.
Hujan deras berganti dengan gerimis kecil saat Ia melintasi lahan luas tempat parkir cafe dengan konsep outdoor. Saat Ia sedang bergegas untuk meraih surga kelegaannya tiba-tiba saja sebuah suara wanita memanggilnya,
“Mas, permisi mas, bisa minta tolong? Motor saya gak mau nyala, perlu di kick starter”, pinta si wanita kepadanya, “mas mau bantuin saya kan?”.
Ia mendadak dilema. Mana yang harus Ia prioritaskan. Kencingnya atau membantu si wanita. Nampak dari gelagatnya si wanita sedang terburu-buru. Padahal sebenarnya Ia yang lebih terburu-buru karena pusakanya sudah mulai merasakan kesakitan menahan air kencing yang semakin merangsek dan tinggal satu setengah senti dari ujung pusakanya.
“Mas, minta tolong bentar aja, saya buru-buru harus pergi”, akhirnya Ia mengalah dan menuruti permintaan si wanita. “Yaudah mbak, mana motornya?”, dengan nada suara jengkel yang ditahan.
“Yang itu mas, sekalian standarin dua ya, mas”, suara si wanita menjadi sedikit genit untuk membuatnya tidak marah. Genjotan pertama gagal, genjotan kedua gagal lagi, baru di genjotan ketiga Ia berhasil. Dua keberhasilan yang Ia peroleh, keberhasilan menyalakan motor si wanita dan juga keberhasilan menghasilkan gempa untuk kantung kemihnya yang kini menjadi semakin ganas mendorong air seninya mendobrak pertahanan satu setengah sentimeter miliknya.
Pertahanannya hanya tersisa setengah sentimeter saat Ia berhasil mencapai toilet tempat parkir. Tanpa berpikir panjang Ia langsung melompat memasuki toilet di tempat parkir itu. Membanting pintu dengan keras yang menghasilkan dentuman yang sedikit banyak seperti suara dentuman bom Little Boy. Dengan sedikit gemetaran karena terburu-buru Ia mencoba melepas ikat pinggangnya. Menurunkan resleting dan melepas kancing penahan pada celananya. Bergerak rukuk untuk memilin celananya keatas supaya tidak basah terkena percikan air seninya. Terakhir Ia mendorong dengan kasar celananya dari atas ke bawah dan dengan tanpa aba-aba pusakanya sudah memuntahkan air kencing yang sedari tadi Ia tahan.
“Ahhh, Man Jadda Wa Jadda!”, selorohnya dengan mata memejam dan mulut yang sedikit terbuka. Dari hasil kesungguhannya kini Ia telah merdeka, menikmati setiap tetes air seninya yang keluar. Memberikan efek getaran puas pada betis yang kemudian menjalar hingga pahanya. Memang begitulah kuasa Tuhan, hal yang sering dianggap sepele oleh banyak orang ternyata dapat menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa. Hanya saja karena nikmat itu sering kita rasakan, menjadikan kita lupa bahwa sebenarnya itu tetaplah sebuah nikmat.
Selesai sudah ritual tolak bala itu. Semua telah beres. Bekas air seni telah disiram, celana telah dikembalikan seperti semula, dan tidak lupa mencuci tangan serta mencuci kaki, pokoknya sudah beres semua. Ia harus segera kembali untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertinggal.
Tangannya meraih gagang pintu yang berbentuk bulat dengan lubang kunci terdapat di tengah gagang pintu. Krekkk…krekkk…krekkk diputarnya gagang pintu itu ke kiri dan ke kanan. Diulanginya lebih dari sepuluh kali tetapi pintu tidak berhasil terbuka. Keringat dingin mulai bergulir di dahinya disusul dengan degup jantungnya yang mulai berpacu cepat.
“Waduh, kok gak bisa dibuka ya?”, satu bulir keringat sudah terjun bebas mengenai kaosnya. Suasana semakin mencekam. Seekor kecoa yang sebelumnya bersembunyi kini sudah berani menampakkan diri. Ia melirik ke arah hewan itu sambil merapal doa, “jangan terbang, jangan terbang, jangan terbang”.
Sial, karena saking kerasnya Ia berusaha membuka pintu Ia kurang memperhatikan pijakan kakinya. Ia sedikit terpeleset namun untung saja tidak sampai terjatuh. Sialnya lagi Ia malah mengagetkan kecoa tadi dan dengan waktu cepat si kecoa berubah posisi menjadi menyerang: kecoa terbang. Sialnya yang ketiga, kecoa langsung menyerang daerah vital. Menyerang dengan semangat kemerdekaan menuju kepalanya. Ia hanya bisa menggerakkan tangannya untuk menghalau walaupun sebenarnya sia-sia. Sejatinya tidak ada yang mampu mengalahkan kecoa dalam posisi menyerang, semua akan binasa pada waktunya. Dan benar saja, akibat serangan kecoa itu Ia kini terpeleset dan jatuh. Kepalanya sedikit terbentur lantai dan seketika itu juga toilet menjadi hitam baginya. Ia pingsan.
Ia kalah oleh kecoa, bukan oleh benturan yang terjadi di kepalanya. Ia pingsan karena terkejut pada serangan kecoa yang mendadak dan belum sempat Ia menyiapkan pertahanannya. Sungguh kasihan Ia, kesulitan untuk melepas beban kantung kemihnya menjadikan dirinya pingsan di dalam sebuah toilet yang berisi kecoa pada posisi menyerang dengan sebuah tulisan yang menempel pada pintu toilet bagian depan: “JANGAN DITUTUP, PINTU RUSAK!!!”.
Komentar
Posting Komentar