Langsung ke konten utama

Northen Light Di Penghujung Tahun

 

Northen Light Di Penghujung Tahun

Oleh: MIM

Hari sabtu lima Desember dua ribu dua puluh. Aku masih sangat ingat jam di tanganku menunjukkan pukul tiga tiga puluh sore hari sewaktu aku dalam perjalanan pulang menuju rumah sehabis kondangan di pernikahan teman semasa STM dengan kecepatan motor  yang aku paksakan. Sore itu aku memiliki janji temu dengan seseorang yang telah aku kagumi sejak pertama kali aku mengenalnya. Janji yang bermula dari ajakanku melalui pesan whatsapp  kepada dia untuk hangout sambil bertukar cerita. Sebetulnya aku sedikit ragu saat pertama kali aku menyampaikan niatanku itu, takut di tolak dan menanggung malu. Namun nyatanya dia menyanggupi dan disinilah aku saat ini, terjebak di Jalan Magelang dalam kondisi kehujanan dengan kecepatan motor yang segitu-gitu saja.

Ditengah rintikan air dari langit yang biasa orang katakan sebagai gerimis tapi sebenarnya tidak bisa dikatakan gerimis juga –karena nyatanya baju yang aku kenakan lumayan basah disana-sini—aku mengingat kembali awal pertemuanku dengan dia. Dia adalah salah satu wanita yang aku kenal ketika aku terikat kontrak kerja paruh waktu di salah satu perusahaan cinderamata di Kota Istimewa. Dalam kontrak kerja itu aku dan dia tidak hanya berdua melainkan berjalan beriringan dengan empat puluh teman kami yang lain dari berbagai kampus di penjuru Yogyakarta. Dia adalah wanita yang sejak awal sudah mencuri perhatianku walaupun pada masa awal kerja dia tidak terlalu mengambil peran dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Menurut aku, dia adalah wanita yang sempurna, wanita yang mampu menunjukkan kedewasaan dalam diamnya, kecerdasan dalam senyumannya, perhatian dalam kecerewetannya, dan keanggunan dalam candanya. Dia yang seiring berjalannya waktu mampu tampil di depan, memimpin, menjadi inspirasi, dan selalu menjadi salah satu warna unik yang senantiasa menghiasi setiap detik perjalanan kontrak kerja kami. Aku selalu tersenyum saat mengingat masa-masa itu. Masa dimana berkumpul masih sangat mudah dan dengannya aku dapat mengamati senyumnya secara diam-diam. Masa dimana seandainya boleh aku mengajukan proposal kepada Tuhan untuk memutar waktu, maka waktu itulah yang aku pilih untuk kembali.

Aku kembali dari lamunanku saat motor memasuki gang kecil menuju rumahku. Dengan perlahan motor memasuki pekarangan sempit yang hanya seluas lima puluh sentimeter sebagai tempat memarkirkan motor. Setelah motor aku pastikan terkunci dengan baik, aku berlari ke dalam rumah bergegas mengganti bajuku yang sudah basah dan menimbulkan rasa dingin di tubuh. Jam dinding menunjukkan pukul empat sore hari. Aku berkirim pesan whatsapp dengan dia untuk memberi kabar jika aku harus berganti baju sebelum pergi menemui dia. Dia pun mengiyakan karena dia juga masih memiliki sedikit tanggungan pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum berangkat ke tempat yang telah kita sepakati. Dia kemudian berpesan supaya memberikan kabar ketika aku akan berangkat. Aku menjawab dengan sok keren dengan jawaban yang singkat ‘oke’.

Begitulah laki-laki. Ia sering bersembunyi dibalik kelemahannya. Laki-laki selalu menampilkan sosok yang tegar padahal hatinya ambyar. Berlagak kuat padahal matanya sudah penuh dengan air mata. Merasa keren padahal itu hanya topeng untuk menutupi ketidakpercayaan dirinya. Dan itu yang terjadi pada aku saat ini. Aku ragu, aku malu, aku bingung. Mendadak self talk negatif  itu berkeliling di kepalaku seperti komedi putar pasar malam. Melemahkanku. Mengingatkanku akan siapa diriku yang tak lain hanyalah seorang lelaki yang tidak mempunyai apa-apa. Harta, tahta, ataupun wajah yang rupawan seperti menjauhi diriku sejak awal aku dilahirkan di dunia ini. Kalau sudah begini, aku hanya bisa terdiam. Mencoba untuk tetap percaya diri dengan segala yang aku miliki dan mungkin ini akan menjadi sebuah kisah nyata yang mewakili peribahasa ‘bagai pungguk yang merindukan bulan’.

Selesai berganti baju aku langsung berlari menuju motorku. Tidak lupa aku kirim pesan whatsapp mengabarkan tentang keberangkatanku. Perjalanan kali ini aku rencanakan akan melalui Jalan Jogja-Solo, melewati Ambarukmo Plaza yang kemudian berbelok ke kiri memasuki kawasan kampus beralmamater hijau, kampus Islam Negeri satu-satunya di Yogyakarta. Selepas tiga ratus lima puluh meter setelah berbelok, akan aku jumpai simpang tiga. Aku akan memutar stang motor ku ke kanan dan akan aku lalui salah satu Sekolah Dasar terbaik di Yogyakarta milik salah satu Organisasi Masyarakat Islam terbesar di Indonesia. Terus menyusuri jalan, melewati polisi tidur yang tidak sedikit, menyebrangi rel kereta api dan aku akan berhenti di simpang empat Brigade Mobil (Brimob) Polda Yogyakarta. Dari sini nantinya aku akan belok ke kanan menyusuri Jalan Kompol Suprapto yang  mengarah persis menuju stasiun Lempuyangan. Sebelum sampai stasiun Lempuyangan terdapat persimpangan lagi dimana aku harus berbelok ke kanan untuk menyebrangi rel kereta api untuk kedua kalinya dan menyusuri jalan Atmosukarto yang mengarah langsung ke stadion Kridosono memasuki sebuah kawasan  yang disebut Kota Baru. Tempat aku dan dia membuat janji adalah salah satu tempat makan yang terletak di sebelah kiri jalan sebelum stadion Kridosono, dihimpit oleh Polsek Danurejan di sebelah kiri dan salah satu laboratorium analisis kesehatan di sebelah kanan.

Aku melirik sekilas jam tanganku, empat lebih sepuluh menit sore hari. Aku susuri jalan Jogja-Solo masih dengan rintikan gerimis yang sama. Tanpa aku sadari senyuman ku semakin mengembang seiring semakin dekatnya jarak ku dengan tempat yang aku dan dia telah sepakati. Air hujan yang membasahi wajahku seperti menarik ku untuk kembali mengingat sebuah senyuman yang sebentar lagi akan aku lihat setelah sekian lama tak aku lihat. Senyum, tawa, dan kecerewetan yang tak pernah dapat dilepaskan darinya selalu mengajakku untuk berharap dan lantas melantunkan doa. Doa yang aku tujukan untuk jodohku kelak. Semoga, jika pun bukan dia, tapi paling tidak berikan yang seperti dia. Ya Tuhan, bukankah lebih mudah jika Engkau jodohkan aku dengan dia, daripada Engkau harus pusing mencarikan untuk ku yang seperti dia? Tidakkah Engkau menaruh iba kepada aku? Atau memang Engkau telah membuat telinga-Mu tuli akan doa-doaku dan Engkau berlaku begitu kejam kepadaku sehingga Engkau menjadikan aku pungguk sedangkan dia bulan yang hanya bisa aku rindukan tanpa pernah dapat aku rengkuh dan sampaikan?

Empat lebih dua puluh lima menit sore hari. Aku memasuki kawasan kota baru masih dengan gerimis yang sama. Aku turunkan kecepatan motor ku untuk memasuki tempat parkir salah satu tempat makan kekinian di Yogyakarta itu. Aku coba untuk mengamati dan meneliti sekitar, masih belum aku temukan motor milik dia. Dengan perasaan yang  gugup aku mencoba menguatkan rasa pecaya diriku untuk melangkah memasuki tempat makan itu. Ketika aku masuk, aku tidak langsung memesan makanan ataupun meja. Aku memilih untuk menunggu dia di tempat tunggu abang-abang ojol untuk kemudian mengambil gawai ku dan mengirimkan pesan whatsapp memberi tahu dia jika aku sudah sampai di tempat kita akan bertemu. Tidak lama aku menunggu, hanya sekitar sepuluh menit aku menunggu. Dalam sepuluh menit itu lagi-lagi aku berkelana di alam imajinasiku. Mengingat lagi wajah itu, mata itu, bibir itu, hidung itu yang setiap kali aku dapat menggambarkan dengan jelas dalam dunia khayal ku, aku merasa sedang melihat indahnya bunga sakura di Jepang yang selalu bermekaran di awal musim semi. Dia adalah wanita yang manis. Tidak terlalu tinggi  juga tidak terlalu pendek, hampir setinggi aku, pokoknya pas. Dengan wajah bulat dan pipi chubby seperti orang yang sedang mengunyah banyak makanan dimulut, lucu. Hidungnya kecil tapi tidak pesek. Dengan mata bulat yang selalu memancarkan kecantikan seperti dua buah batu permata Musgravite yang ditemukan pertama kali di Australia tahun seribu sembilan ratus enam puluh tujuh. Lain lagi dengan senyuman di bibirnya yang selalu menjadi favoritku. Dulu orang sering mengatakan senyum manis seperti gula. Ada juga yang mengatakan senyumanmu mengalihkan duniaku. Namun kali ini izinkan aku untuk menyetarakan senyuman wanita yang akan aku temui ini dengan “Northen Light”. Sebuah cahaya yang hanya bisa dilihat di kutub utara begitupun sebuah senyuman yang hanya bisa dilihat di wajahnya. Cahaya utara yang selalu berdansa saat mereka muncul. Cahaya yang mampu menampilkan banyak warna mulai dari hijau muda, pink, sampai dengan biru. Cahaya yang memiliki nama lain Aurora Borealis. Cahaya yang hanya dapat dilihat di kegelapan untuk kemudian memendarkan kilaunya. Menggetarkan hati setiap pasang mata yang melihatnya seperti getaran yang kurasakan saat melihat senyumnya. Senyuman yang kuharapkan menjadi senyumanku. Senyuman yang kuharapkan selalu aku lihat di pagi hari. Senyuman yang melahirkan senyuman. Bukanlah maksud. Jangan tersenyum seperti itu padaku, aku tak mau separuh hatimu jatuh tertinggal disini. Mewariskan benih yang nantinya terkandung menjadi cinta dan rindu. Yang terakhir bukanlah perkataanku, melainkan seorang pujangga bernama Adnan Dede Haris yang mampu mewakili perasaanku.

Tepat sepuluh menit berlalu. Senyuman itu akhirnya menyapa aku. Aku mencoba membalas dengan senyuman semampuku. Dengan ramah dia memohon maaf karena telah membuat aku menunggu. Andaikan dia tahu, aku akan tetap menunggu meskipun harus menunggu selama tiga ratus lima puluh tahun untuk senyuman itu. Karena senyuman itu adalah wujud kemerdekaanku. Selayaknya tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima adalah kemerdekaan yang dinantikan dengan sabar oleh seluruh Bangsa Indonesia.

Dengan degup jantung yang semakin cepat aku mempersilahkan dia untuk jalan terlebih dahulu menuju order station yang sekaligus kasir tempat transaksi dilakukan. Setelah memesan makanan masing-masing aku dan dia mencoba mencari tempat yang kosong dan nyaman. Aku dan dia memutuskan untuk duduk di salah satu sudut tempat makan itu dengan satu meja dan hanya terdapat dua kursi yang saling berhadap-hadapan. Suasana tempat makan tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi. Dengan konsep semi outdoor dengan diterangi lampu hias yang digantungkan di sisi tembok dan juga saling melintang di ruang terbuka membuat suasana sangat nyaman.

Selama makan dia yang paling banyak bercerita dan aku yang paling banyak bertanya. Tetapi aku sangat senang dan sangat menikmati momen itu. Bagiku ceritanya selalu membuat hati ku khusyuk mendengarkan. Cerita tentang kesibukan pekerjaannya, tentang kuliahnya, dan tentang gosip terbaru teman-teman kita dia bawakan dengan ciri khasnya yang berapi-api dan mampu memancing tawa, bingung, dan juga selalu terselip kejutan di setiap ceritanya. Namun ada satu cerita yang paling tidak aku sukai. Cerita yang memupuskan harapan, menoreh luka, membawa sedih, dan mengundang tangis. Aku sangat tidak suka ketika dia bercerita lantas menyelipkan sesuatu tentang kekasihnya. Walaupun tidak dengan secara langsung, tapi dalam beberapa cerita dia selalu menyebut kekasihnya berulang-ulang yang seolah dengan tegas dan lugas mengatakan padaku,”maaf, kamu jangan berharap terlalu jauh, tak ada lagi ruang di hati ku untuk orang lain”. Aku hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Aku hanya dapat menerima keadaan. Aku hanya dapat untuk tidak dapat berbuat apa-apa. Ultimatum itu sudah jelas, pesan itu telah tersampaikan, isyarat itu telah dilayangkan tinggal aku yang harus menerima semua keadaan. Selama prosesi makan itu aku selalu menahan setiap rasa yang semakin hampa seperti piring dihadapanku yang semakin hampa karena makanan telah berpindah ke dalam perutku. Northen Light ku hanya tinggal angan, bersemayam indah dalam imajinasiku yang hanya bisa aku nikmati dalam khayalan dan tak akan pernah menjadi kenyataan. Dia yang saat ini dihadapanku mendadak menjadi Dulcinea dari Tobosso kekasih khayalan Don Quijote. Hanya khayalan, bukan seperti Ibu Ainun dan Pak Habibie yang menorehkan cinta abadi yang melukiskan sejarah. Kini aku merasa tempat duduk seolah terpisah sejauh selat sunda yang memisahkan pulau Sumatra dan pulau Jawa. Aku semakin yakin telah terpisah jauh dari dia, terlempar ke dalam palung Mariana harapanku, palung terdalam di dunia dengan kedalaman sepuluh kilometer. Gelap, namun tidak akan ada Aurora Borealis, karena aku tidak sedang di daerah kutub utara melainkan aku telah jatuh tersungkur di palung paling dalam dan gelap, sebuah harapan.

Gerimis masih sama hanya saja hawa dingin semakin terasa. Sudah pukul enam lebih lima menit sore hari atau bolehlah kita sebut petang hari. Aku dan dia memutuskan untuk mengakhiri pertemuan itu. Pertemuan yang akan menjadikan tanggal lima Desember menjadi hari kemerdekaanku. Kemerdekaan karena penantianku untuk melihat senyum itu terbayar tuntas meskipun tak mungkin ku rengkuh untuk aku miliki. Sebelum berpisah aku berikan sebotol minuman bervitamin dengan harapan dapat membantu menjaga kesehatannya. Sedikit kata-kata yang aku sampaikan saat memberikan minuman itu kepadanya,”sehat-sehat ya, jangan sakit-sakit”. Aku malu, bahkan aku tidak mampu menatap matanya. Aku menyerahkan dengan sambil lalu. Tidak ada ucapan selamat tinggal dan tidak ada ucapan hati-hati di jalan. Kita berpisah di tengah rintikan hujan yang membuat suasana semakin melankolis. Dia berbelok ke arah barat sedangkan aku berbelok ke arah timur. Kurang ajar, ternyata semesta telah bersekongkol untuk memisahkan aku dan dia dengan mengutus dewa arah mata angin agar dia pergi ke barat sedangkan aku ke timur.

Dalam perjalanan pulang, aku mencoba berdamai dengan diriku. Mungkin memang benar bahwa tingkatan cinta tertinggi adalah mengikhlaskan. Sulit, namun itu harus aku lakukan. Mungkin aku naif atau memang aku sudah naif saat aku mengatakan disini dengan jelas bahwa aku bahagia asalkan dia bahagia. Itulah hal yang aku pilih untuk dia. Pulang dengan kesadaran dan kerelaan penuh bahwa dia bukanlah jodohku dan hanya menyimpan perasaanku dalam diam serta hanya sanggup mendoakan dia dalam diam demi kebahagiaan dia. Untuk dia, terimakasih telah menumbuhkan bunga sakura di hati ku dan kini biarkan aku yang akan merawatnya untuk ku sendiri. Terimakasih untuk dia yang telah menjadi bagian dalam perjalanan hidupku. Dia, dia yang tak lain adalah dirimu, dirimu yang telah dengan sabar membaca sekelumit cerita dariku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu

Di tengah gempuran suara jangkrik yang beralun. Dengan segelas extra joss susu yang sudah tandas. Berteman dingin yang menyelimuti. Perasaan itu muncul, menyapa kembali, menunjukkan diri lagi. Sulit untuk bisa menghindar dari tikamannya yang perih. Aku mengenalnya tanpa sengaja. Berawal dari sebuah candaan di awal perjumpaan kami. Saat itu kami belum pernah mengenal satu sama lain. Belum pernah berjumpa fisik barang sekali. Belum pula pernah bertukar sapa dan cerita melalui gawai. Menjadi aneh rasanya ketika justru saat ini dia lah penyebab perasaan ini muncul dan menghantui. Semuanya serba cepat dan seperti tanpa rencana. Aku mengirimkan surat kaleng kepadanya dengan sebatang coklat yang tak seberapa harganya. Sejak saat itu hubungan kami menjadi istimewa. Setidaknya itu yang aku rasakan. Bagaimana dengan dia? Semoga dia juga mempunyai rasa yang sama, utuh dan bulat seperti yang aku rasakan. Namanya Indah, tentu saja seindah orangnya. Dia lebih muda dariku 4 tahun. Entah sihir apa yan...

Terlalu Jauh

Sulit sekali rasanya mendeskripsikan apa yang sedang aku rasakan. Kecenderungan untuk terus merasa sensitif, mudah marah, murung berhari-hari, sulit berkomunikasi, senang menyendiri, dan kesulitan untuk tidur. Perasaan yang semakin hari semakin menguasai diri. Sulit menghindar apalagi meninggalkan. Di mana letak kesalahan diri ini? Mencoba menelusuri setiap persimpangan. Mencoba segala hal dari kebaikan hingga keburukan. Nyatanya sulit sekali untuk menemukan jawaban. Seolah diri ini dibuat bingung dengan keadaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah dalam diri ini? Sudah cukup lelah diri ini untuk terus mencari. Keputusasaan seolah telah menanti, melambai, dan mulai menghampiri. Pagi ini, tanpa sengaja terlintas dalam pikiranku untuk menonton podcast Ust. Felix Siauw dengan Remond Chin. Podcast yang membahas mulai dari pentingnya nalar berpikir dalam beragama, jodoh, hingga membahas persoalan pemimpin. Menelusuri detik demi detik dan cukup banyak hal baru yang diri ini peroleh. ...

I Felt Better When I Have Done Write Down My Feelings

I felt better when I have done write down my feelings. Ungkapan itu tidak berlebihan rasanya. Ungkapan yang entah muncul dari mana. Ungkapan yang betul-betul menggambarkan perasaanku saat ini. Hidupku terlalu lelah untuk aku ceritakan melalui kata-kata. Hanya melalui frasa aku dapat bercerita karena rasanya tidak ada yang benar-benar memahami apa yang aku rasa. Tidak ada pula yang dapat aku percaya. Bercerita bukan perkara mudah bagiku yang sejak kecil terbiasa memendam segalanya. Bersyukurnya aku Tuhan telah menciptakan tulisan. Memberikan aku kemampuan membaca dan mengeja serta menulis untuk menumpahkan segala rasa. Oh, sungguh hanya ini yang bisa aku lakukan. Namun kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Mungkin ini memang waktu yang tepat untukku yang diberikan Tuhan kepadaku untuk menyadari semuanya. Tentang segala rasa yang tersimpan harus aku tuangkan dalam tulisan. Aku belum memahami korelasi antara pengalaman masa laluku dengan kondisiku saat ini. Dulu aku begitu menggebu...