Langsung ke konten utama

Mana Yang Lebih Dahulu, Sepi Atau Teknologi?

Oleh: MIM (22/12/2020)

Teknologi adalah budak yang dapat diandalkan, tetapi majikan nan keji. Sebuah kalimat yang ditulis oleh Desi Anwar pada paragraf awal dalam bagian Kata Pengantar bukunya yang berjudul “Going Offline: Menemukan Jati Diri Di Dunia Penuh Distraksi” yang menjadi tamparan nyata atas apa yang terjadi pada saat ini. Selanjutnya, masih pada bagian kata pengantar, Desi Anwar menjelaskan kebanyakan dari kita saat ini lebih memilih untuk hanyut dalam gawai yang canggih dan rela melepaskan dunia nyata yang menurut penuturan beliau sedikit demi sedikit menurunkan ketergantungan terhadap indra kita bahkan hingga ke tingkat kita lupa bagaimana menggunakannya. Sehingga jika hendak diambil kesimpulan maka dapat disimpulkan bahwa teknologi sedikit demi sedikit ‘membunuh’ sensitifitas kita sebagai manusia.

          Sejalan dengan hipotesa Desi Anwar, penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro yang diterbitkan dalam Jurnal Empati pada Januari 2017 dengan judul “Hubungan Antara Kesepian Dengan Adiksi Smartphone Pada Siswa SMA Negeri 2 Bekasi” yang mana tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kesepian dengan adiksi teknologi (smartphone) pada remaja. Hasilnya dapat ditebak, seorang remaja yang memiliki tingkat kesepian yang tinggi cenderung adiksi terhadap teknologi. Sedikit menjelaskan tentang adiksi, menurut Young dalam penelitiannya pada tahun 2015 yang berjudul “Smartphone  Addiction  and  Empathy  Among  Nursing  Students” adiksi terjadi karena ada kebutuhan untuk menghindari perasaan yang tidak menyenangkan. Menurut penulis, sangat benar jika kesepian adalah salah satu perasaan yang tidak menyenangkan.

          Menurut Al-Khatib (peneliti asal Uni Emirat Arab) kesepian terjadi karena rendahnya self-esteem dan self-efficacy yang cenderung menjadikan seseorang merasa kurang diterima oleh orang lain sehingga merasa kurang percaya diri untuk memulai suatu hubungan. Rendahnya dukungan dari orang-orang disekitar (orang tua, teman, dosen, dll) memberikan pengaruh signifikan terhadap adiksi. Tekanan dari teman, keluarga, dan konflik-konflik yang terus menerus terjadi dalam hidup menjadikan seseorang menggunakan teknologi sebagai alternatif untuk menghindari masalah dalam hidup. “Sungguh memprihatinkan,” tulis Desi Anwar, “kita dengan bodohnya mengabaikan keterhubungan yang nyata dan berharga yang dapat kita jalin”.

          Seharusnya kesepian dapat disikapi dengan sedikit lebih bijak. Dalam bukunya Husein Ja’far al-Hadar (Menyegarkan Islam Kita) menuliskan bahwa Musa (pembawa risalah Yahudi) ‘menemui’ dan berdialog sendiri dengan Allah dalam sepinya Bukit Tursina. Kemudian beliau melanjutkan dengan mengambil contoh Yesus (yang diyakini sebagai pembawa risalah Nasrasi oleh umat kristiani) syahid di tiang salibnya sendiri dalam sepi bersama Allah, dan ‘berbicara’ dengan-Nya dalam ‘diam’-Nya. Beliau menutup nasehat tentang kesepian dengan contoh Muhammad (pembaca risalah Islam) menerima wahyu pertamanya sendirian dalam sepinya Gua Hira. Namun, di era modern yang terlanjur pragmatis dan gersang nilai ini, manusia justru sedih, takut, dan lari dari sepi. Sebab, kita tak pernah bisa menghadirkan Tuhan dalam sepi.

          Semisal hal diatas terlalu berat untuk kita karena beliau Husein Ja’far al-Hadar mencontohkan dengan kisah orang-orang suci, mungkin mengalihkan sepi atau kesepian dapat dilakukan dengan aktifitas yang lain. Salah satu aktifitas yang di rekomendasikan oleh Desi Anwar adalah membaca puisi. Beliau menulis, “sebuah puisi memuat konsep abstrak seperti perasaan, ide, emosi, dan bahkan kebingungan dan keraguan. Semua ini adalah bagian dan paket setiap pengalaman manusia. Anda mungkin merasakan betapa membaca puis tidak hanya membantu anda menjelajah, memproses, dan memahami emosi-emosi berat yang anda rasakan sendiri, tetapi juga memungkinkan anda berempati dengan emosi-emosi orang lain”. Tidak ada salahnya untuk mencoba, dibandingkan dengan hanya membaca komentar-komentar tak berguna pada sosial media yang berceceran setiap menit di beranda Facebook, Twitter, dan Instagram kita. Jika masih kesulitan dalam mencari puisi apa yang hendak dibaca, mungkin salah satu puisi dari Syahid Muhammad dalam bukunya Egosentris ini dapat dicoba:

Banyak bangsal-bangsal terkunci rapat.

Dalam rongga-rongga paling sepi dalam diri kita.

Berisi kenyataan-kenyataan yang terasingkan.

 

Kita membawa pesan-pesan mendewasakan yang tak diinginkan.

Terkucilkan oleh takut-takut yang terlalu meraksasa.

Adakah hati yang bisa menjinakkan resah?

Tanpa perlu terasa terperah.

Hanya untuk sekedar marah,

Akan hak yang ditahan susah payah.

          Sekali lagi, kita harus mulai menyikapi kesepian dengan lebih bijak. Jangan menjadikan kesepian sebagai penghambat dari perkembangan diri kita. Melampiaskan kesepian pada hal-hal yang kurang bermanfaat dan hanya melahirkan adiksi sebagaimana teknologi yang selalu ada dalam genggaman kita. Dalam hal lain, jangan sampai karena sepi kita menjadi layu sebelum tumbuh berkembang, patah sebelum tegak berdiri, atau bahkan menyerah sebelum berusaha. Banyak hal-hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi rasa kesepian atau bahkan menghilangkannya. Selain membaca puisi, kita juga bisa melakukan kegiatan lain semisal berjalan kaki di pagi hari, minum teh di sore hari sambil menikmati angin sore yang sepoi-sepoi atau dengan mencoba untuk menuliskan tentang perasaan-perasaan yang sedang dirasakan.

          Di sisi lain, kita juga tidak boleh terlalu fokus ke dalam. Tapi bagimana kita juga berusaha untuk tetap terhubung dengan dunia luar. Mencari teman, sahabat, dan lingkungan yang mampu untuk saling memberikan dukungan. Sebagaimana hukum timbal balik, kebaikan yang kita berikan kepada orang lain nantinya akan kembali kepada diri kita sendiri. Mungkin saja kesepian kita memang karena kita yang hanya terfokus pada dunia yang ada di dalam genggaman, sehingga kita telah kehilangan keterhubungan nyata dengan orang lain yang duduk di hadapan kita. Andai kita mau untuk sedikit saja meluangkan waktu untuk terhubung dengan orang lain di luar sana, mungkin cerita hidup kita akan berakhir seperti kisah Fatih yang menemukan Fana dalam novel Egosentris, seperti tokoh ‘Aku’ dalam novel Introver yang tidak sengaja bertemu dengan seorang gadis di sebuah kedai kopi yang memiliki hobi yang sama. Akhirnya, semua akan kembali pada diri kita sendiri. Bagaimana kita menyikapi kesepian itulah yang akan menjadi jawaban kunci dari persoalan kesepian yang kita hadapi.

Komentar

  1. Sadar sepenuhnya tp banyak denialnya. Banyak kutipan2 dari berbagai buku yg bikin tulisannya jadi kaya dan dan jadi cambuk buat pembacanya agar terus membaca lagi dan lagi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu

Di tengah gempuran suara jangkrik yang beralun. Dengan segelas extra joss susu yang sudah tandas. Berteman dingin yang menyelimuti. Perasaan itu muncul, menyapa kembali, menunjukkan diri lagi. Sulit untuk bisa menghindar dari tikamannya yang perih. Aku mengenalnya tanpa sengaja. Berawal dari sebuah candaan di awal perjumpaan kami. Saat itu kami belum pernah mengenal satu sama lain. Belum pernah berjumpa fisik barang sekali. Belum pula pernah bertukar sapa dan cerita melalui gawai. Menjadi aneh rasanya ketika justru saat ini dia lah penyebab perasaan ini muncul dan menghantui. Semuanya serba cepat dan seperti tanpa rencana. Aku mengirimkan surat kaleng kepadanya dengan sebatang coklat yang tak seberapa harganya. Sejak saat itu hubungan kami menjadi istimewa. Setidaknya itu yang aku rasakan. Bagaimana dengan dia? Semoga dia juga mempunyai rasa yang sama, utuh dan bulat seperti yang aku rasakan. Namanya Indah, tentu saja seindah orangnya. Dia lebih muda dariku 4 tahun. Entah sihir apa yan...

Terlalu Jauh

Sulit sekali rasanya mendeskripsikan apa yang sedang aku rasakan. Kecenderungan untuk terus merasa sensitif, mudah marah, murung berhari-hari, sulit berkomunikasi, senang menyendiri, dan kesulitan untuk tidur. Perasaan yang semakin hari semakin menguasai diri. Sulit menghindar apalagi meninggalkan. Di mana letak kesalahan diri ini? Mencoba menelusuri setiap persimpangan. Mencoba segala hal dari kebaikan hingga keburukan. Nyatanya sulit sekali untuk menemukan jawaban. Seolah diri ini dibuat bingung dengan keadaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah dalam diri ini? Sudah cukup lelah diri ini untuk terus mencari. Keputusasaan seolah telah menanti, melambai, dan mulai menghampiri. Pagi ini, tanpa sengaja terlintas dalam pikiranku untuk menonton podcast Ust. Felix Siauw dengan Remond Chin. Podcast yang membahas mulai dari pentingnya nalar berpikir dalam beragama, jodoh, hingga membahas persoalan pemimpin. Menelusuri detik demi detik dan cukup banyak hal baru yang diri ini peroleh. ...

I Felt Better When I Have Done Write Down My Feelings

I felt better when I have done write down my feelings. Ungkapan itu tidak berlebihan rasanya. Ungkapan yang entah muncul dari mana. Ungkapan yang betul-betul menggambarkan perasaanku saat ini. Hidupku terlalu lelah untuk aku ceritakan melalui kata-kata. Hanya melalui frasa aku dapat bercerita karena rasanya tidak ada yang benar-benar memahami apa yang aku rasa. Tidak ada pula yang dapat aku percaya. Bercerita bukan perkara mudah bagiku yang sejak kecil terbiasa memendam segalanya. Bersyukurnya aku Tuhan telah menciptakan tulisan. Memberikan aku kemampuan membaca dan mengeja serta menulis untuk menumpahkan segala rasa. Oh, sungguh hanya ini yang bisa aku lakukan. Namun kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Mungkin ini memang waktu yang tepat untukku yang diberikan Tuhan kepadaku untuk menyadari semuanya. Tentang segala rasa yang tersimpan harus aku tuangkan dalam tulisan. Aku belum memahami korelasi antara pengalaman masa laluku dengan kondisiku saat ini. Dulu aku begitu menggebu...