Langsung ke konten utama

Dari Elaborasi Sampai Klarifikasi

        Senin pagi tanggal dua puluh satu Desember dua ribu dua puluh. Aku beranjak dari rumahku untuk menuju sebuah warung internet. Ketika aku memasukinya langsung aku ditawarkan untuk menggunakan paket membership. Operator yang saat itu bertugas memberikan elaborasi tentang keunggulan dari paket membership yang ada. Akhirnya kita mencapai pada sebuah konvensi untuk memilih paket membership dua jam dengan harga lima belas ribu rupiah. Aku tidak kecewa untuk mengeluarkan uang lima belas ribu rupiah karena operator bekerja dengan penuh aforisme.

       Aku memilih bilik nomer dua puluh enam. Karena dua puluh enam adalah kelipatan dari angka tiga belas, tanggal ulang tahunku. Saat menikmati akses internet ku tiba-tiba saja aku merasa dehidrasi. Namun aku tak mau membeli minuman karena aku tak ingin mengeluarkan porto untuk membeli sebotol minuman yang di warung internet itu cukup mahal jika dibandingkan dengan porto yang harus dikeluarkan di warung-warung di luar sana. Semoga saja serebrum ku tidak menyusut karena aku dehidrasi.

        Aku ingin bercerita, dalam hidup ini kita harus senantiasa menjaga mobilitas kita. Hidup tanpa sebuah mobilitas maka akan hampa. Tidak ada yang bisa kita ambil kebermanfaatan dalam hidup. Kita hidup tapi seperti mati jika tanpa mobilitas. Percayalah, aku ini bonafide. Coba saja bayangkan seekor burung yang hanya bermalas-malasan di sarangnya tanpa mau keluar untuk mencari sesuap makan. Apa yang akan terjadi? Tentu saja burung itu akan mati. Maka mobilitas itu sine qua non (harus ada). 

        Mobilitas bukan melulu tentang harta. Mobilitas bisa juga berarti menebar kebermanfaatan. Bisa juga mobilitas untuk mencari ilmu. Aku jadi teringat sebuah pepatah yang mengatakan, ”harta akan membuatmu menjaganya, tetapi ilmu akan selalu menjagamu”. Pada akhirnya kita menjadi kleptofobia  atas harta-harta kita. Hal itu akan menjadikan kita selalu was-was dan tidak bisa hidup dengan tenang. Sebagai contoh banyak orang yang saking was-wasnya terhadap harta maka ia sampai mau berkolusi untuk mempertahankan hartanya bahkan berkolusi untuk terus menambah hartanya karena takut harta itu berkurang satu sen saja. Memang sifat manusia sangat sulit untuk dimengerti apalagi dimengerti dengan ilmu ekamatra.

        Mari aku ajak untuk kembali mengenang masa perkuliahanku. Bukan semua cerita perkuliahanku yang akan aku ceritakan. Akan tetapi cerita tentang salah satu mata kuliah yang hampir saja membuat aku tidak mendapatkan Surat Izin Bekerja (SIB). Waktu itu di penghujung masa perkuliahanku. Aku dan teman satu angkatanku mengikuti pelatihan Petugas Proteksi Radiasi (PPR). Dimana menjadi seorang PPR dituntut untuk bagak karena kita berhadapan dengan radiasi nuklir yang tak kasat mata namun berefek dahsyat ketika melebihi ambang dosis yang diperbolehkan. Sehingga tugas utama seorang PPR adalah menangkal setiap aktivitas yang berpotensi terjadinya kebocoran radiasi yang dapat membahayakan pekerja radiasi maupun masyarakat umum.

        Dua ribu dua puluh menjadi tahun kelam bagi semua sendi kehidupan manusia di dunia. Bukan hanya di Indonesia namun di sudut-sudut bumi merasakan hal yang sama. Semua yang semula dapat dilakukan secara luring harus beralih melalui virtual. Virus corona menuntut kita untuk tidak membuat kerumunan yang dapat membahayakan karena penyebaran yang cepat dan seringkali tanpa gejala yang tampak oleh mata. Bahkan pemerintah harus membuat aturan untuk oknum-oknum bandel yang tidak mau mengindahkan aturan-aturan (protokol kesehatan) yang telah dibuat. Jika terbukti melanggar maka oknum-oknum itu akan mendapatkan hukuman berupa kerja sosial, membayar denda, ataupun kurungan.

       Sejauh yang aku tahu, hibrida dari virus corona adalah ketika kita tidak mengindahkan kebersihan dan protokol kesehatan. Protokol kesehatan yang dimaksud adalah 3M: Menjaga Jarak, Mencuci Tangan, dan Memakai Masker disetiap kita sebelum, saat, dan sesudah melakukan aktivitas. Residu dari bersin yang biasa disebut droplet seseorang yang terinfeksi virus corona dapat bertahan pada benda sampai berjam-jam. Maka dari itu hal yang paling dibutuhkan saat ini adalah sebuah vaksin. Sayang sekali, saat dunia membutuhkannya, dia menghilang. Belum ada vaksin yang benar-benar saksama. Kita hanya bisa berdoa semoga dunia lekas menemukan vaksin yang benar-benar saksama untuk memulihkan kembali dunia seperti sediakala.

        Baru saja aku menyaksikan sebuah video dari Prof. Dr. dr. Rusydi al-Jabar. Seorang ulama dari al-Azhar mesir yang juga sekaligus seorang dokter. Mendengarkan penjelasan beliau sungguh menentramkan hati di saat kondisi seperti ini. Beliau menjelaskan bahwa virus bukanlah makhluk yang hidup. Virus baru dapat ‘hidup’ ketika ia bersemayam pada makhluk hidup, sebagai contoh adalah mikroba. Namun hal yang mencengangkan adalah dalam kehidupan sehari-hari kita selalu hidup berdampingan dengan mikroba. Beliau mencontohkan mikroba yang terdapat pada tangan, mulut, dan bahkan mikroba juga kita makan dan menjadi kotoran (feses) kita. Tujuh puluh persen dari feses kita adalah mikroba dan hanya dua puluh persen yang berupa sisa dari makanan yang kita makan. Ketika kita tidur, mikroba juga terdapat pada bantal kita. Hanya saja mata kita yang tidak mampu untuk melihatnya. Diperlukan peralatan yang sophisticated (canggih) berupa mikroskop elektron untuk dapat melihat mikroba tersebut. Beliau kemudian menjelaskan bahwa terdapat mikroba baik dan mikroba jahat. Mikroba baik adalah pasukan yang telah diutus Tuhan untuk melindungi kita dengan memusnahkan mikroba jahat. Mikroba jahat inilah makhluk hidup yang terjangkiti virus. Sehingga kata beliau kita kurang bijak jika terlalu banyak menggunakan pembersih (hand sanitizer) secara berlebihan karena dapat membunuh semua mikroba baik yang baik maupun jahat. Namun kita terlanjut merasa takut karena berita macam-macam yang tersebar melalui grup whatsapp dll.

        Oke, kita tinggalkan virus corona dan mari aku kisahkan tentang salah satu cita-citaku. Salah satu cita-citaku itu adalah dapat menguasai paling tidak lima bahasa. Sejauh ini aku sudah mampu dua bahasa. Walaupun bahasa lokal yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Selebihnya aku sedang berusaha belajar secara otodidak untuk menaklukkan bahasa Inggris, Urdu, dan Jerman. Ah, betapa latifnya jika hal itu dapat terjadi. Membayangkannya saja sudah membuat aku bahagia. Hanya saja tantangan terbesarku adalah perasaan malasku yang naudzubillah. Apakah aku mampu untuk menaklukkan diriku sendiri sebelum aku menaklukkan tiga bahasa lain itu? Aku pasti mampu, aku yakin dengan diriku.

       Aku sudah lulus kuliah tapi aku belum lulus dari pekerjaan paruh waktuku. Aku juga bekerja sebagai operator di salah satu warung internet yang cukup mentereng di Jogja. Tapi meskipun mentereng aku merasa honor yang aku terima jauh dari kata layak jika dibandingkan dengan pekerjaan yang harus aku kerjakan. Sedih, tapi harus selalu bersyukur, setidaknya aku masih mempunyai kesibukkan setelah selesai menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Kontrak kerja ku berakhir di bulan April karena aku registrasi di pekerjaanku ini di bulan Mei. Aku selalu mencoba membuat kontrak kerjaku seperti boga yang aku santap dengan lahap di malam hari sambil melihat eklips bulan. Sehingga kontrak kerja tidak terasa lama tapi terasa cepat dan nikmat.

        Itulah sekelumit cerita yang ingin aku utarakan di pagi hari ini. Boleh kiranya tulisan ini adalah bentuk mukjizat atau karamah ku selaku penulis. Atau jika mau dikatakan sebuah dedikasi aku juga tidak berkeberatan. Aku hanya tidak mau jika tulisan ini dianggap sebagai pancingan untuk memprovokasi segelintir orang untuk ikut menjadi penulis dari setiap jalan kehidupan yang dilalui. Seandainya ini menjadi sebuah provokasi, aku akan melakukan regresi untuk menganulir tulisan ini dan memusnahkannya semusnah-musnahnya. Aku tidak ambil pusing. Karena ini bukanlah tugas makalah di semester gasal yang sejauh pengalamanku menempuh pendidikan selalu menjadi semester yang melelahkan. Semester yang selalu ganjil, tidak pernah bundar apalagi bulat. Namun tulisan ini hanyalah alternatif atau cara lain untukku memperoleh bonanza (sumber kesenangan). Zenit dari kedepresian yang aku lalui dalam menjalani kehidupan di dunia ini yang memerlukan jalan keluar untuk terbebas dari jeratan koordinator dunia yang kejam.

        Ekskavasi jiwa yang telah begitu lama meronta-ronta. Disebabkan oleh kesepian, kedepresian, dan kesetressan yang luar biasa hebatnya. Begitu kontras dengan kehidupan orang lain di mataku. Meskipun banyak orang berkata hidup bukanlah perlombaan dengan orang lain, menyamakan, apalagi membandingkannya. Semua ini hanya soal nuansa. Nuansa setiap orang tidak bisa disamakan karena ini menyangkut perbedaan makna. Eksodus dari nilai-nilai negatif harus selalu diupayakan untuk kesehatan mental dan kebahagiaan kita. Iterasi yang dilakukan akan melahirkan tertanamnya nilai-nilai yang kita tanamkan secara menyeluruh. Semacam afirmasi kepada diri kita untuk betul-betul meyakinkan kita bahwa nilai itu melekat erat pada diri kita. Setidaknya itulah yang aku dapatkan dari hasil belajarku tentang self concept (konsep diri). Jika sudah begitu, kita hanya memerlukan legitimasi dan kita akan berjalan di dunia ini dengan nilai baik yang kita inginkan karena nilai itu telah menjadi self image (citra diri) diri kita sendiri.

      Bagai ceruk yang dalam dan gelap, jiwa seseorang yang tak pernah merasa dianggap ada di dunia ini. Rekognisi orang-orang yang merasa seperti itu sangat berarti dan begitu berharga bagi mereka yang merasakan. Bahkan seorang hostes atau pramuria yang diberikan ucapan terimakasih oleh pelanggannya sudah mampu merasa masuk surga firdaus. Ketimbang diberikan tips uang, para pekerja jasa pelayanan akan lebih tersenyum ketika diberikan ucapan terimakasih dan senyum yang tulus tanda ia di hargai dan dianggap ada. Akhir kata, aku ingin mengklarifikasi bahwa aku sedang tidak baik-baik saja dan aku membutuhkan sosok yang mampu menjadi sandaranku. Bukan berarti aku tak percaya Tuhan. Namun akau hanyalah manusia biasa yang seringkali sulit untuk memahami bahasa Tuhan. Akan lebih mudah bagiku untuk memahami bahasa sesama manusia. Dan aku mengharapkan bahasa manusia yang diturunkan Tuhan: bahasa cinta.

 

Dua puluh satu Desember dua ribu dua puluh

MIM

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu

Di tengah gempuran suara jangkrik yang beralun. Dengan segelas extra joss susu yang sudah tandas. Berteman dingin yang menyelimuti. Perasaan itu muncul, menyapa kembali, menunjukkan diri lagi. Sulit untuk bisa menghindar dari tikamannya yang perih. Aku mengenalnya tanpa sengaja. Berawal dari sebuah candaan di awal perjumpaan kami. Saat itu kami belum pernah mengenal satu sama lain. Belum pernah berjumpa fisik barang sekali. Belum pula pernah bertukar sapa dan cerita melalui gawai. Menjadi aneh rasanya ketika justru saat ini dia lah penyebab perasaan ini muncul dan menghantui. Semuanya serba cepat dan seperti tanpa rencana. Aku mengirimkan surat kaleng kepadanya dengan sebatang coklat yang tak seberapa harganya. Sejak saat itu hubungan kami menjadi istimewa. Setidaknya itu yang aku rasakan. Bagaimana dengan dia? Semoga dia juga mempunyai rasa yang sama, utuh dan bulat seperti yang aku rasakan. Namanya Indah, tentu saja seindah orangnya. Dia lebih muda dariku 4 tahun. Entah sihir apa yan...

Terlalu Jauh

Sulit sekali rasanya mendeskripsikan apa yang sedang aku rasakan. Kecenderungan untuk terus merasa sensitif, mudah marah, murung berhari-hari, sulit berkomunikasi, senang menyendiri, dan kesulitan untuk tidur. Perasaan yang semakin hari semakin menguasai diri. Sulit menghindar apalagi meninggalkan. Di mana letak kesalahan diri ini? Mencoba menelusuri setiap persimpangan. Mencoba segala hal dari kebaikan hingga keburukan. Nyatanya sulit sekali untuk menemukan jawaban. Seolah diri ini dibuat bingung dengan keadaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah dalam diri ini? Sudah cukup lelah diri ini untuk terus mencari. Keputusasaan seolah telah menanti, melambai, dan mulai menghampiri. Pagi ini, tanpa sengaja terlintas dalam pikiranku untuk menonton podcast Ust. Felix Siauw dengan Remond Chin. Podcast yang membahas mulai dari pentingnya nalar berpikir dalam beragama, jodoh, hingga membahas persoalan pemimpin. Menelusuri detik demi detik dan cukup banyak hal baru yang diri ini peroleh. ...

I Felt Better When I Have Done Write Down My Feelings

I felt better when I have done write down my feelings. Ungkapan itu tidak berlebihan rasanya. Ungkapan yang entah muncul dari mana. Ungkapan yang betul-betul menggambarkan perasaanku saat ini. Hidupku terlalu lelah untuk aku ceritakan melalui kata-kata. Hanya melalui frasa aku dapat bercerita karena rasanya tidak ada yang benar-benar memahami apa yang aku rasa. Tidak ada pula yang dapat aku percaya. Bercerita bukan perkara mudah bagiku yang sejak kecil terbiasa memendam segalanya. Bersyukurnya aku Tuhan telah menciptakan tulisan. Memberikan aku kemampuan membaca dan mengeja serta menulis untuk menumpahkan segala rasa. Oh, sungguh hanya ini yang bisa aku lakukan. Namun kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Mungkin ini memang waktu yang tepat untukku yang diberikan Tuhan kepadaku untuk menyadari semuanya. Tentang segala rasa yang tersimpan harus aku tuangkan dalam tulisan. Aku belum memahami korelasi antara pengalaman masa laluku dengan kondisiku saat ini. Dulu aku begitu menggebu...